Jumat, 11 November 2011

makalah pemikiran Daud az-Zhahiriy


A. Latar Belakang Masalah.
Pemikiran fiqh yang kemudian memunculkan alirannya (madzhab) bukan hanya ada 4 saja, tetapi masih ada banyak lagi yang lainnya. Bahkan jumlahnya bisa mencapai puluhan. Namun yang terkenal hingga sekarang ini hanyalah 4 saja. Padahal banyak juga yang mengenal mazhab selain yang 4 seperti mazhab al-Ibadhiyah yang didirikan oleh Jabir bin Zaid, juga mazhab al-Zaidiyah yang didirikan oleh Zaid bin Ali Zainal Abidin ,

juga ada mazhab al-Zahiriyah yang didirikan oleh Daud bin Ali al-Zhahiri dan mazhab-mazhab lainnya.


Sedangkan yang dikenal 4 mazhab sekarang ini adalah karena keempatnya merupakan mazhab yang telah terbukti sepanjang zaman bisa tetap bertahan, padahal usianya sudah lebih dari 1.000 tahun. al-Hanafiyah, al-Malikiyah, asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah adalah empat dari sekian puluh mazhab yang pernah berkembang di masa kejayaan fiqh dan mampu bertahan hingga sekarang ini. Di dalamnya terdapat ratusan tokoh ulama ahli yang meneruskan dan melanggengkan madzhab gurunya. Dan masing-masing memiliki pengikut yang jumlahnya paling besar, serta mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.

Namun, saat ini mulai kembali banyak orang yang mengkaji lebih mendalam tentang permasalahan Islam melalui jalur pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri. Hal ini terjadi karena madzhab al-Zhahiri adalah salah satu diantara madzhab fiqh kalangan ahlusunnah wal jamaah yang didirikan oleh Abu Sualiman Daud Al-Ashfahani Azh-zhahiri yang lahir tahun 202 H di Kufah Iraq dan wafat di tahun 270 H di Baghdad. Nama beliau sering disingkat menjadi Daud al-Zhahiri. Oleh sebab itulah, melalui tulisan ini penulis ingin mencoba untuk mengkaji secara mendalam dan sitematis tentang fiqh Daud al-Zhahiri ini.

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapatlah dirumusakan masalahnya, yakni ; bagaimanakah pola pemikiran fiqh yang diterapkan oleh Daud al-Zhahiri ?

BAB  II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Hidup dan Karya Ilmiah Daud al-Zhahiri.

Daud al-Zhahiri lahir di Kufah pada tahun 200 H/815 M, dan wafat di Baghdad pada tahun 270 H/883 M. Ia seorang ahli fiqh, mujtahid, ahli hadits, hafiz, dan pendiri Madzhab al-Zhahiri. Nama lengkapnya Daud bin Ali bin Khalaf al-Ishfahani. Tokoh yang dijuluki Abu Sulaiman ini dibesarkan dan berdomisili di Baghdad sampai meninggal dunia. Pada mulanya, ia merupakan penganut fanatik madzhab al-Syafi’i meskipun ayahnya seorang penganut madzhab Abu Hanifah. Namun ia belajar tidak langsung kepada imam al-Syafi’i, tetapi dari murid dan sahabatnya, karena ia baru berusia 4 tahun ketika imam al-Syafi’i wafat. Guru-gurunya antara lain Ishaq bin Rahawaih (161-238 H), seorang ulama Khurasan (Iran) yang mencapai derajat hafiz dalam bidang hadits, serta penyusun kitab hadits “al-Musnad”.[1]

Di samping mempelajari fiqh al-Syafi’i, ia juga mempelajari hadits dari para muhaddits semasanya. Ia menerima hadits dari orang-orang yang bermukim di Baghdad, kemudian melawat ke Nisabur, Iran, dan meriwayatkan hadits dari para muhaddits negeri tersebut. Ia menyusun hadits-hadits yang diriwayatkannya di dalam bukunya sehingga (ketika berorientasi ke fiqh al-Zhahiri), fiqh-nya sesungguhnya merupakan kumpulan hadits yang diriwayatkannya sendiri.

Untuk membangun madzhabnya, Daud al-Zhahiri menulis berbagai karya, antara lain :

1.      Kitab al-Hujjah (buku tentang argumentasi).

2.      Kitab al-Khabar al-Mujib li al-‘Ilm (buku mengenai informasi keilmuan).

3.      Kitab al-Khusus wa al-‘Umum (buku tentang penjelasan mengenai lafal khusus dan umum).

4.      Kitab al-Mufassar wa al-Mujmal (buku mengenai lafal yang jelas dan tidak jelas pengertiannya).

5.      Kitab Ibthal al-Qiyas (buku yang membahas masalah penolakn terhadap kias).

6.      Kitab Ibthal al-Taqlid (buku yang berisi penjelasan mengenai larangan bertaklid).

7.      Kitab Khabar al-Wahid (buku tentang hadits ahad).[2]

Abu al-Faraj Muhammad bin Abi Ya’qub Ishaq al-Waraq al-Baghdadi yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Nadim (w. 385 H/995 M), penyusun buku “al-Fihris” menyebutkan bahwa sejumlah besar topik fiqh karya Daud al-Zhahiri seperti tentang bersuci, haid, shalat, haji, nikah, dan thalak. Namun semua karya Daud al-Zhahiri ini menurut informasi dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyah (Ensiklopedi Islam) sudah tidak ada lagi.[3] Akan tetapi dari jalan madzhabnya ini, pengikutnya banyak ikut membuat kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh, dan kitab pegangan yang cukup populer dikalangan ahli fiqh yaitu “al-Muhalla” dalam masalah fiqh, dan kitab “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam” dalam masalah ushul fiqh.

B. Pemikiran Fiqh Daud al-Zhahiri.

Fuqaha’ sepakat mengatakan bahwa Daud al-Zhahiri merupakan orang pertama yang berpendapat bahwa syari’at merupakan nash yang zhahir (nyata). Oleh sebab itu, alirannya disebut madzhab al-Zhahiri, sebuah sebutan yang selalu disandarkan kepada namanya. Mazhab ini pernah berkembang di Andalusia dan mencapai puncak keemasannya di abad kelima hijriyah. Namun di abad kedelapan, mazhab ini punah dan habis.[4]

Daud al-Zhahiri mendasarkan madzhabnya atas pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat. Sedangkan bila tidak ada juga dalam ijma’, biasanya mereka menggunakan metode istishab yaitu kaidah bahwa hukum asal sesuatu itu mubah (boleh). Ia menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia pun menolak dalil taqlid.[5]

Berikut ini beberapa pandangannya tentang ijma’, qiyas dan taqlid.[6]

1.      Tentang Ijma’.

Ijma’ yang dimaksud oleh Daud al-Zhahiri hanyalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat. Ijma’ seperti inilah yang dapat dijadikan hujjah. Sesudah generasi mereka sudah tidak ada lagi ijma’. Alasannya adalah, mengatahui pendapat yang disepakati oleh para mujtahid di masa sahabat adalah mungkin karena mereka dikenal, berjumlah sedikit, dan mudah untuk berkumpul guna membahas suatu masalah secara bersama. Sedangkan jumlah mujtahid pasca generasi sahabat demikian banyak dan tersebar diseluruh penjuru dunia, sehingga tidak mungkin untuk mengetahui pendapat mereka.

Pendapat di atas berbeda dengan pendapat madzhab lain yang tidak membatasi ijma’ pada kesepakatan para mujtahid dari kalangan sahabat, tetapi mencakup tabi’in.

2.      Tentang Qiyas.

Pada dasarnya Daud al-Zhahiri menolak penggunaan qiyas dan ra’yu. Ia berpendapat bahwa hukum yang dibentuk dengan qiyas adalah hukum ‘aqliah (berdasarkan akal), sedangkan agama bersifat Ilahiah. Seandainya agama adalah ‘aqliah, tentu hukum yang berlaku akan berbeda dengan hukum yang dibawa oleh al-Qur’an dan al-sunah. Namun, kemudian ia menerapkan qiyas. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya di dalam menetapkan hukum. Pengalaman itu telah membuatnya meneliti kembali metode yang digunakan oleh ahl al-hadits dan ahl al-ra’yi. Mereka berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunah serta menolak qiyas dan ra’yu sama sekali. Sementara itu, praktek peradilan menuntut adanya perangkat-pembantu lainnya, seperti qiyas ketika referensi dari al-Qur’an dan sunah tidak memadai. Meskipun begitu, menurut pendapatnya, qiyas boleh digunakan hanya apabila nash menyatakan keharaman atau kehalalan sesuatu serta menjelaskan ‘illat-nya. Namun, apabila nash tidak menjelaskan ‘illat (alasan hukum), maka seorang mujtahid tidak berhak untuk membuatnya sendiri, lalu melakukan qiyas dengannya. Dalam hal ini Allah swt berfirman :

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللهِ ذَلِكُمُ اللهُ رَ بِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ {الشورى : 10}

Artinya : “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.”[7]

Artinya, bukan kepada ra’yu dan qiyas. Adapun ia menyebut qiyas yang digunakannya ini dengan nama dalil. Namun, dalil dalam pandangannya termasuk dalam ruang lingkup al-istidlal al-fiqh (deduksi dalil fiqh) yang bersandar pada nash yang jelas, bukan termasuk dalam ruang lingkup qiyas.

Dalam deduksi dalil terdapat banyak teknik. Sebagai contoh, nash mengemukakan dua premis tanpa mengemukakan kesimpulannya : “Setiap yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Abu Dawud dari Ibnu Umar). Kesimpulannya ialah bahwa setiap yang memabukkan adalah haram. Hukum ini tidak ditemukan melalui qiyas, tetapi melalui dilalah alfaz (indikasi lafal) atau (seperti diistilahkan oleh para ahli mantik) al-qiyas al-idmari (qiyas yang menyembunyikan). Teknik lain adalah ta’mim al-syart (generalisasi kata kerja syarat). Umpamanya terdapat nash dari firman Allah swt :

قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ اْلأَوَّلِينَ {الأنفال : 38}

Artinya : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”.”[8]

Nash ini turun berkenaan dengan orang-orang kafir, tetapi hukumnya berlaku bagi setiap orang yang melakukan maksiat. Artinya, apabila orang yang melakukan maksiat berhenti dan bertobat dari per­buatannya, maka ia akan mendapat ampunan dari Allah swt. Generalisasi ini datang dari zhahir-nya nash, bukan dari qiyas.

3.      Tentang Taqlid.

Daud az-Zahiri melarang taqlid secara mutlak. Orang yang sangat awam pun harus berijtihad. Jika tidak mampu berijtihad, ia harus bertanya kepada orang lain. Akan tetapi, ia baru boleh menerima pendapat orang lain itu jika disertai dengan dalil dari al-Qur’an, atau al-sunah, atau ijma’. Jika orang itu tidak mengemukakan dalilnya, maka ia harus bertanya kepada orang lain lagi.

Adapun hasil pemikiran fiqh-nya adalah :[9]

1.      Membatasi pengharaman riba pada enam jenis barang yang disebutkan di dalam hadis Nabi saw, yaitu emas, perak, jelai, gandum, buah kurma, dan garam (HR. Muslim). Menurut fuqaha’ mazhab lain, pengharaman riba terhadap keenam jenis itu mempunyai ‘illat dan karenanya dapat dilakukan qiyas terhadap barang lain yang mempunyai kesamaan ‘illat dengannya. Daud az-Zhahiri menolak pendapat fuqaha’ tersebut. Menurutnya, Rasulullah saw telah membatasi barang-barang yang dapat ditakar, dimakan, dan disimpan sebagai makanan pokok, pada empat jenis. Seandainya riba berlaku pada semua barang yang ditimbang atau dimakan, tentu ia akan mengatakan, umpamanya, “janganlah kamu menjual barang-barang yang dimakan dengan barang-barang yang dimakan secara riba.” Kata-kata ini lebih ringkas dan lebih berfaedah. Karena ia tidak mengatakan demikian, tetapi hanya menyebut kempat jenis, maka pengharaman riba terbatas pada keempat jenis tersebut.

2.      Orang yang dalam keadaan junub dan tidak mempunyai wudhu boleh menyentuh mushaf al-Qur’an. Pendapat ini mempunyai hubungan dengan pendapatnya tentang al-Qur’an dalam surah al-Waqi’ah ayat 78-79, Allah swt menyebutkan al-Qur’an antara lain sebagai berikut, “la yamassuhu illa al-mutahharun” (tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan) dan “fi kitab maknum” (pada kitab yang terpelihara [Lauh Mahfuz]). Menurut pendapatnya, al-Qur’an yang digambarkan oleh Allah swt dengan firman-Nya tersebut bukanlah makhluk, melainkan kalam Allah yang merupakan satu kesatuan dengan Zat-Nya. Sementara itu, al-Qur’an dalam arti tulisantulisannya, yang ada pada manusia serta boleh disentuh oleh orang yang haid dan orang yang junub adalah makhluk.

BAB  III

KESIMPULAN

Berdasarakan seluruh pemaparan di atas, maka dapatlah disimpulkan isi dari makalah ini, yakni :

1.      Daud al-Zhahiri adalah seorang mujtahid baru dengan membentuk madzhab sendiri setelah adanya empat madzhab yang mu’tabar. Nama madzhabnya adalah madzhab al-Zhahiri.

2.      Pemikiran fiqh Daud al-Zhahiri merupakan pengamalan zhahir nash al-Qur’an dan al-sunah. Ia berpendapat bahwa keumuman nash al-Qur’an dan al-sunah dapat menjawab segala persoalan. Jika tidak ada nash yang menjelaskan suatu masalah, ia menerapkan ijma’ termasuk ijma’ shahabat.

3.      Daud al-Zhahiri menolak metode qiyas, istihsan, sad al-zari’ah, ra’yu dan ta’lil nushush al-ahkam bi al-ijtihad. Menurutnya semua itu bukan dalil ahkam (hukum). Ia juga menolak dalil taqlid.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van   Hoeve, 2006

Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari 2009

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press,         2006

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 56

Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran          Tekstual dan Aliran Liberal, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007

[1] Abu Qisthi, “Mazhab Zahiri”, dalam http://www.syariahonline.com, 7 Januari 2009

[2] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2006), Volume 6, h. 1981

[3] Ibid., h. 1976


[4] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 56

[5] Yusuf al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah; Moderasi Islam antara Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 46


[6] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., op.cit., h. 1975-1976

[7] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Gema Risalah Press, 2006), hlm. 969

[8] Ibid., h. 346

[9] Abdul Aziz Dahlan…[et al.]., op.cit., h. 1977

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih