Jumat, 21 September 2012

Mengenal Imam Ahmad bin Hanbal


A. Biografi
Imam Ahmad Hambali 165-241H/781-855M). [1] Beliau dilahirkan di Bagdad pada
bulan Robi’ul awwal tahun 165 H (781 M). Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin
Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah
adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar
bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim. baik
dari ayah dan ibu sama-sama dari bani syaiban, yaitu salah satu kabilah yang
berdomisili di Semenanjung Arabia.

Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya Shafiyyah binti
Maimunah binti Abdul Malik Asy-Syaibaniy, karena ayahnya meninggal ketika beliau
masih bayi. Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika
beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah
Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah,
kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya
ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Sejak kecil beliau telah
menunjukkan sifat dan pribadi yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang.
Sikapnya menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan
khalifah Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu'tazilah
merupakan saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai
tokoh besar sepanjang masa." Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi'i, yang tak
lain adalah guru Imam Hanbali. Dan sejak kecil itu pula beliau telah menunjukkan
minat yanng besar kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat itu Baghdad
merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan menghafal
al-quran (14th), kemudian belajar bahasa arab, hadist, sejarah nabi, dan sejarah
sahabat serta para tabi’in, setelah dari Bagdad Beliau melanjutkan pendidikannya
di Ad-Diwan.
Pertama kali Beliau mengambil hadist dr Al-Qadhi Abu Yusuf (murid/rekan Abu
Hanifah), sejak berusia 16 tahun beliau sudah mulai mengambil hadist dari para
page 1 / 5Zuheri Faruq | imam hambal
Copyright zuherifaruq zuherifaruq@webmail.umm.ac.id
http://zuherifaruq.student.umm.ac.id/2011/09/29/imam-hambal/
ulama-ulama hadist yang terkenal di Baghdad, diantaranya Sufyan bin Uyainah,
Ismail bin ‘Ulayyah, Waqi’ bin Jarrah, Yahya Al-Qathan, Yazid bin Harun. Beliau
merupakan murid dari Imam Syafi’i, namun demikan Imam Syafi’i tidak
segan-segan untuk mengambil ilmu dari Imam Hambali, terutama pada tahun 186
saat Beliau melakukan perjalanan ke Basrah kemudian ke Hijjaz Yaman. Tak hanya
pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin
Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan
kezuhudan Imam Hanbali. Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit
sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih,
berkata, ''Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang
sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini
dan semuanya kuberikan kepadamu.”
Kecintaannya kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada
ulama terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama
hanya untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang
menjadikan Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah
usia 40 tahun, istri pertamanya bernama Aisyah binti Fadl mempunyai anak
bernama Shaleh, istri keduanya Raihanah mempunyai anak bernama Abdullah, istri
ketiganya bernama Hamba Husinah dan memiliki anak bernam Zainab, Hasan,
Husain, Muhammad, Said.
Diantara murid murid Beliau : Abdullah dan Shalih (putra beliau), Abu Zur’ah,
Bukhari Muslim, Abu Daud, Al-Asram, dll. Kitabnya bernama Al-Musnad yang
disusun selama 60 tahun sejak tahun 180, diantara kitab-kitabnya : Al-Mansik
As-Shagir dan Al-Kabir, Az-Zuhud, As-Sunnah, Ar-Rad ‘ala Al-Jahmiyah wa
Az-Zindiqiyah, As-Shalah, Al-‘illal wa Ar-Rijal, Al-Wara wal Iman, Al-Asyribah, satu juz
tentang Ushul As-Shittah, Fadail As-Shahabah. Beliau merupakan salah seorang
yang di nisbath sebagai madzhab ahlisunnah karena Beliau merupakan sosok yang
sabar dan teguh, Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali
hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala. Hadits sejumlah itu, diseleksi secara
ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut,
hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali dengan susunan berdasarkan tertib
nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat
sahih dan hanya sedikit yang berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al
Khuli, seorang ulama bahasa yang banyak menulis biografi tokoh sahabat,
sebenarnya hadits yang termuat dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada
sekitar 10 ribu hadits yang berulang. Diantara guru-guru beliau Hammad bin Khalid,
Ismail Bin Aniyah, Mudzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, Musa bin Thariq Seperti
halnya dengan Malik bin Anas, kitab hadistnya sangat terkenal bernama Al-Musnad.
Pendapat Imam Hambali ini menjadi pendapat resmi negara Saudi Arabia
page 2 / 5Zuheri Faruq | imam hambal
Copyright zuherifaruq zuherifaruq@webmail.umm.ac.id
http://zuherifaruq.student.umm.ac.id/2011/09/29/imam-hambal/
(sekarang). [2]
Pada hari jum’at 12 Robi’ul Awwal 241 Beliau meninggal dunia, diantara para murid
didikannya yang terkenal yaitu : Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Daud. Awalnya
madzab Beliau berkembang di daerah Baghdad saja, namun sejak tahun 6 H
berkembang di di Mesir, dan berkembang pesat pada abad 11 dan 12 H, berkat
usaha Ibn Taymiyah dan Ibnu Qoyyim Kedua tokoh inilah yang membuka mata
banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih madzhab Hanbali, khususnya
dalam bidang muamalah. Dan pada saat ini madzhab Beliau banyak dianut
didaerah Timur Tengah. Karya-karya hasil didikan Imam Hambali seperti Shahih
Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang
menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang
disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya. Sebagaimana ketiga Imam
lainnya; Syafi'i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran Imam Ahmad
ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual, khususnya dalam
masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali memberikan
perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang bersumber pada
Sunnah.
B. Istinbad Hukum Imam Hambali
Menurut Ibnu Qoyyim 5 landasan pokok sebagai dasar penetapan hukum dan fatwa
Imam Hambali
1. Nash (Al-Quran dan As-Sunah)
Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan Al-Qur'an dan Sunnah dan
tidak berpaling pada sumber lainnya.
1. fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya. karena fatwa
sahabat adalah hadis yang harus diamalkan jjka memang benar
periwayatanya, terutama dari para khulafaur rhasyidin jika memang tidak ada
nas dalam masalah tersebut.
2. jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya
lebih sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat
yang ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur'an dan Sunnah, maka ia
page 3 / 5Zuheri Faruq | imam hambal
Copyright zuherifaruq zuherifaruq@webmail.umm.ac.id
http://zuherifaruq.student.umm.ac.id/2011/09/29/imam-hambal/
tidak akan menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau
meriwayatkan kedua-duanya.
Contoh : Abu Bakar berpendapat dalam hal peperangan “ Jika orang kafir sudah
bersembunyi karena takut, maka kita tidak boleh membunuhnya ”
1. hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama
perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan 'maudu', atau
hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias.
Contoh hadist mursal : Rosulullah melarang jual beli dengan cara muzabanah (HR.
Muslim).
 Contoh hadist daif : Barang siapa melakukan hubungan intim dengan istrinya yang
dalam keadaan haid atau melalui jalan belakang atau mendatangi peramal, maka ia
telah kufur dengan apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad.
1. qias/analogi, Digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari 4 sumber.
Yakni menggabungkan hukum satu masalah yang tidak ada nashnya dengan
masalah yang sudah ada nashnya kareana ada persamaan dalam aspek
‘illatnya.
Contoh : Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya,
sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk
menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum
khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.
Kemudian terkecuali dalam bidang sosial politik, maslalah al-mursalah tetap Beliau
pakai seperti contoh dalam kasus :
page 4 / 5Zuheri Faruq | imam hambal
Copyright zuherifaruq zuherifaruq@webmail.umm.ac.id
http://zuherifaruq.student.umm.ac.id/2011/09/29/imam-hambal/
1)     menetapkan hukum ta’zir bagi mereka yang selalu bernbuat kerusakan.
2)     menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap mereka yang meminum
minuman keras di siang hari pada bulan ramadlan.
 Dan cara-cara seperti itu, sering diikuti oleh para pegikutnya. Begitu pula dengan
dasar ihtisan, istishab, sadd al-zara’i, sekalipun sangat jarang digunakan oleh Imam
Ahmad ibn Hambal.
Adapun hal-hal yang berkaitan dengan “halal” dan “haram”, beliau sangat teliti
dalam mengkaji beberapa hadits dan sanadnya yang terkait denganya, tetapi beliau
sangat longgar dalam menerima hadist yang berkaitan dengan masalah akhlaq,
fadlail al-amal atau adat istiadat yang teruji, dengan persaratan sebagai berikut :
“Jika Kami telah menerima Hadist Rosulullah yang menjelaskan masalah hala dan
haram atau perbuatan sunnah dan hukum-hukumnya maka aku melakukan
penelitian hadist secara ketat dan cermat begiru juga sanad-sanadnya, tetapi jika
berkaitan dengan fadail maal atau yang tidak berhubungan dengan hukum, kami
sedikit agak longgar”.
Sebagai seorang Ulama besar gudang ilmu tentu saja ia dihadapkan dengan banyak
sekali berbagai pertanyaan, Beliau akan menjawabnya dengan sangat hati-hati
sekali, tidak pernah berburu-buru. Dan secara terus terang Ia mengakui ”belum
tahu” kalau memang masalah itu belum diketahuinya, atau belum diselidikinya.
Karena itu Ia selalu berpesan kepada murid-muridnya agar selalu berhati-hati dalam
berfatwa yang belum jelas dasar hukumnya.
[1] Ali, Daud, Muhammad, 1990, Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal
189
[

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih