Membaca
buku sang liberalis yg ditulis oleh Abu Umar Basyier, mengantarkan aku
bernostalgia menyusuri waktu-waktu yg telah kulewati, ketika pertama kali aku
mengenal lebih dekat Islam, dan ketika aku mulai aktif ikut-ikutan “ngaji” di
masjid kampung. Buku itu mengingatkan aku akan semangat yg begitu besar yg
terkadang tak terbendungi, sehingga keluar memberi warna dalam dimensi
kehidupan keluargaku. Realitas yg terjadi di masyarakat yg sangat jauh berbeda dengan kebenaran yg baru
pelajari membuatku kadang harus memberontak untuk mengatakan bahwa seperti
inilah yg benar.
Setidaknya
itulah yg dirasakan oleh Yudi (tokoh utama dalam buku “Sang Liberalis”) ketika dia mulai mengenal lebih dekat Islam,
dan ketika dia memutuskan untuk melanjutkan study di sebuah pesantren. Pola
pengajaran sufisme yg baru dia pahami mengantarkan dia menjadi seorang abid.
Pernah
suatu malam dia melakukan shalat lail sebanyak 120 rakaat, ditambah dengan berpuasa berturut-turut tanpa
henti, dia juga membatasi dirinya dengan hanya memakan 5 kepal tangan dalam
sehari. Sampai suatu saat dia pingsan karena tubuhnya kekurangan gizi. Setelah siuman, bukannya sadar malahan memilih untuk
meneruskan kebiasaannya tersebut.
Namun
itu tidak berlangsung lama, ketika salah satu kakak
temannya datang berkunjung ke
pesantrennya. Dia adalah seorang pria bersemangat tinggi, dia bukan berasal
dari pendidikan pesantren, tapi semangat Islamnya meluap-luap, pengetahuan
Islamnya juga tidak main-main. Suatu ketika pria yg di sapa ja’far itu berkata,
“tau kalian, bagaimana cara orang -orang yahudi memadamkan semangat jihad? Mereka
menyusupkan pemahaman sufi kedalam tubuh ummat Islam. Semenjak ajaran sufi itu
berkembang luas semenjak itulah semangat jihad kaum muslimin mulai meredup dan
akhirnya padam”.
Saat
berbicara , rahangnya mengeras, urat-wajahnya menegang dan terlihat menonjol
akibat luapan semangat yg berapi-api. Salah seorang teman Yudi menanggapi,
“Tapi jihadkan tidak harus dengan senjata, kita
berdakwah juga termasuk jihad, lagi pula kita hidup di negara yg pemimpinnya
berasal dari orang-orang Islam.”
Ja’far
menjawab,
“secara bahasa memang termasuk jihad, tapi
jihad yg sesungguhnya adalah perang. Undang-Undang yg dipakai di negeri ini
buatan belanda kan? Mereka itu apa agamanya? Dalam al-Qur’an Allah menegaskan, Barang
siapa yg tidak berhukum dengan apa yg diturunkan Allah, maka merekan itu
orang-orang yg fasik”.
Akhirnya yudi mengakhiri kehidupan
sufismenya, berganti dengan pemahaman yg baru dia dapatkan, paham radikalisme.
Lagi-lagi pemahaman tersebut tidak
dapat bertahan lama dalam diri Yudi, sejak dia mempelajari ilmu Mantiq (filsafat)
yg didapatkan bagi santri yg sudah selesai masa belajarnya, dan sedang
manjalani proses pengabdian di pesantren tersebut. Ilmu Mantiq yg
menomorsatukan akal membuatnya mulai berpikir kritis terhadap paham
radikalismenya, bahkan yudi sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa Islam dan
semua agama adalah sama-sama menuju kepada tuhan yg satu, ya, yudi kini telah
kerasukan firus Liberalisme, ada sebuah hadist yg sangat di eluk-elukan oleh
Yudi dalam mempelajari ilmu Mantiqnya,
((الدين عقل لا دين لمن لا
عقل له))
“Agama adalah akal, tidak ada
agama bagi mereka yg tidak memiliki akal”
Hadist
ini dengan jelas menyebutkan bahwa akal adalah segalanya dalam beragama, hadist
yg belum jelas asal usulnya ini menjadi pedoman utama untuk melegalkan sebuah
stigma bahwa Islam adalah agama filsafat.
Seperti
itulah gambaran singkat isi buku tersebut, sebuah perjalanan panjang dalam
pencarian kebenaran sejati, yg berakhir kembalinya dia kepada paham yg benar.
Sebuah kisah nyata yg sederhana namun banyak terjadi di sekitar kita, Abu Umar
Basyier membawakan kisah tersebut dengan bahasa yg mengalir dan syarat dengan
nilai dakwah sebagaimana buku-buku beliau yg lain. Banyak hikmah, pelajaran,
dan argumentasi-argumentasi ilmiyah yg bisa kita manfaatkan dalam dunia
keilmuan, dan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Selamat membaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih