oleh : Akh Azhari SHI
Apa yang Tuhan takdirkan bagi
hamba-Nya, pastilah itu yang terjadi.
Jika direnungi, menarik rasanya
pernyataan di atas kalau dikaitkan dengan diri saya. Jujur
kawan, tidak pernah
terpikir pun olehku akan menjalani salah satu mozaik hidup di Universitas Ibn
Khaldun Bogor (UIKA). Sekadar nama almamater saja (UIKA), rasa-rasanya saya
belum pernah mendengarnya. Tapi, itulah yang Tuhan kehendaki.
Saya hanya berusaha mengamalkan
penjelasan para ulama tentang konsep takdir yang pernah kita pelajari dulu
waktu nyantri. Takdir mesti diterima dan dijalani dengan penuh keridhaan
kepada-Nya. Hal ini membuatku terbayang Ramadhan tahun lalu di Balikpapan,
ketika seorang ustadz mendatangi saya untuk menyampaikan “misi” ini.
Saya hanya menjawab, “InsyaAllah, saya berusaha mempersiapkan mental untuk
melanjutkan kuliah lagi.” Dalam benak saya, dengan mental, seseorang punya cita
dan semangat. Ada tekad dan motivasi besar. Tentunya juga, selalu bermunajat
kepada Yang Maha Mendengar.
Kini, Ramadhan yang saat ini saya
jalani di Bogor, seakan memantik kenangan ketika hendak berangkat ke sini,
meskipun sudah terbalik, karena sekarang malah hendak berangkat ke sana
(Balikpapan). Maka benar kata orang, waktu itu berlalu dengan cepat. Masih
segar diingatan, saat kita masih sibuk dan ramai bersalaman sambil menanyakan
nama dan asal masing-masing. Sekarang, satu persatu menghampiri kita berjabat
tangan dan kadang berpelukan, meminta pamit hendak pulang.
Saya, dengan tulisan ini, bukan
bermaksud membuat sedih para pembaca, meskipun sebenarnya, perpisahan yang
berakibat munculnya kesedihan adalah lumrah dan manusiawi. Bahkan, ada sebuah
ungkapan dalam sebuah buku yang pernah saya baca, “Janganlah menangisi
perpisahan, tapi tangisilah mengapa pertemuan mesti ada.” Kita semua memang
pasti akan berpisah, karena sebelumnya kita telah bertemu. Pertemuan dan
perpisahan ibarat dua mata sisi uang. Kira-kira begitulah makna ungkapan
tersebut.
Tadi saya berkata jujur, sekarang
saya harus berterus terang, kawan. Awal-awal tinggal di negeri orang ini, saya
goncang berat (meminjam istilah santri yang tidak tahan hidup berpesantren).
Pengen rasanya membatalkan amanah ini. “Lain kali saja kuliahnya. Umur masih
muda”. Kira-kira begitulah batinku bergumam. Tapi, segera terngiang lagi
statement saya kepada ustadz tersebut saat masih di Balikpapan. Layar telah
berkembang, maka pantang surut ke belakang. Bagaimanapun konsekuensinya, saya
harus menempuh perkuliahan ini. Saya tidak akan pulang sebelum selesai. Inilah
yang memotivasi saya, yang selalu bergelora dari dalam diri.
Bahkan, tanpa disadari, rasa
gocang berat tersebut lambat laun raib dan berubah menjadi kegembiraan dalam
suasana yang akrab dengan teman-teman semua. Saya bersyukur kepada Tuhan akan
karunia ini. Ditambah lagi ukhuwah teman-teman yang begitu hangat. Bisa
bercanda ria, bermain bola bareng, bersantap siang, dan kadang ngeliwet. Inilah
salah satu pengalaman paling berharga dalam hidup saya dalam menjalani hidup di
tanah Sunda. Akhirnya, saya hanya ingin menghaturkan permohonan maaf kepadamu,
Kawan. Afwan. Wallah a’lam. Azhari.
selamat ust azahari, kesabaran antm belajar selama setahun sudah membuahkan hasil. hari ini, saya dan teman2 ulil sangat bahagia melihat antm dan abang-abang senior lainya. sebagaimana saya berharap suatu saat nanti akan mengikuti acara demikian juga. twaran untuk s3 jngan d lewatkan, tpi stelah terlebih dahulu minta izin ke ust. saya mendukung antm, selagi da kesempatan kecerdasan yang Allah karuniakan kepada antum harus d manfaatkan...
BalasHapus...karena فضل الله diberikan kepada من يشاء ...