Oleh : Ahmad Musyaddad, LC
Melakukan transaksi ekonomi atau yang lebih populer di dalam ajaran Islam dengan istilah muamalah maliyyah, adalah suatu keharusan bagi manusia untuk mempertahankan hidupnya dan memenuhi kebutuhannya. Dalam pandangan Islam eksistensi kehidupan manusia tidak terlepas dari naluri yang dibawa sejak lahir. Naluri tersebut terdiri dari tiga hal. Pertama, naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa'). Kedua, naluri mempertahankan keturunan (gharizatun nau'). Ketiga, naluri beragama
(gharizatut tadayyun).
Oleh sebab itu Allah SWT menegaskan bahwa segala yang terhampar di muka bumi ini, sepenuhnya diperuntukkan bagi manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan dalam bingkai ibadah kepada Allah. Allah SWT berfirman,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَيُمْسِكُ السَّمَاء أَن تَقَعَ عَلَى الأَرْضِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
"Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia" (QS. Al Hajj: 65)
Di dalam aktifitas muamalah tersebut, baik berupa jual beli, hutang piutang dan bentuk yang lain, manusia tidak serta-merta dapat berbuat sesuka hatinya. Allah SWT memberikan rules dalam setiap ragam dan bentuk aktifitas ekonomi yang akan dijalankan oleh setiap orang (QS. 2:275). Setiap kegiatan ekonomi tidak hanya memiliki orientasi pemenuhan kebutuhan dan perolehan kepuasan saja, tetapi ia haruslah juga disandarkan pada aspek spiritual; bahwa apa yang diusahakan oleh seseorang sejatinya adalah dalam rangka ibadah dan taqarrub kepada Allah SWT.
Tentunya, jika tidak terdapat aturan-aturan di dalam suatu sistem ekonomi, maka hal yang dapat dipastikan terjadi adalah manusia berusaha memenuhi hasrat dan keinginannya, yang kesemuanya itu dapat menjadi tak terbatas dikarenakan sifat tidak puas yang melekat di dalam diri setiap orang dan dorongan hawa nafsu yang sering kali dituruti. Hal ini sangat berpotensi melahirkan kezaliman dalam aktivitas ekonomi, dan pada akhirnya menimbulkan kerusakan yang tidak berujung di muka bumi. Allah SWT berfirman,
ظَهَرَ الْفَسادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِما كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُون
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Ruum: 41)
Begitu pula sebaliknya, setiap orang yang melakulakn aktivitas ekonomi dengan berpegang teguh pada nilai-nilai Islam, memperhatikan setiap etika dan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, maka ia sedang melakukan aktifitas ibadah yang begitu mulia. Bahkan diriwayatkan di dalam sebuah hadits Rasulullah saw menjelaskan posisi yang amat mulia bagi para pelaku ekonomi yang jujur. Beliau bersabda,
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ.
”Pedagang yang jujur terpercaya bersama para Nabi, as-shididqin dan syuhada." (HR. Tirmizdi)
Dalam realita kehidupan berekonomi, baik yang telah dan sedang dijalankan oleh masyarakat dunia, permasalahan yang paling pelik yang sudah menggurita dan menimbulkan dampak kerusakan multidimensi adalah masalah riba. Peberlakuan riba memiliki dampak negatif yang sangat segnifikan pada sektor ekonomi, menurunnya produktivitas usaha, serta menjadi sebab utama terus meningkatnya utang Negara-negara dunia. Dalam buku “A History Of Money From Ancient Times To The Present Day” Roy Davies dan Glay Davies (1996) berusaha untuk mengkonstrusi kronologi krisis yang terjadi sepanjang abad 20. menurut mereka, intrest rate (bunga) mempunyai andil yang cukup besar bagi terciptanya lebih dari 20 krisis dalam sektor keuangan dunia.
Dampak negatif riba memiliki spektrum yang amat luas, tidak hanya pada sektor ekonomi yang ditandai dengan krisis global. Dalam sektor sosial kemasyarakatan, riba yang berakar pada asas kezaliman dan ketidakadilan menjadi pemicu renggangnya hubungan antar anggota masyarakat dan menjadi penyebab tumbuhnya kebencian dan permusuhan. Tidak hanya itu, Hendri Tanjung dalam sebuah kajiannya bahkan mengklaim bahwa riba adalah penyebab terjadinya global warming (pemanasan bumi secasa global) dewasa ini.
bos, ganti tuh widget kalendernya... gk enak ah diliat...
BalasHapusmakanya pandangan tuh dijaga....
Hapushehe...
سأبدل إنشاء الله